Siapa sangka, setelah resmi turun dari kursi RI-1, Jokowi tampaknya belum benar-benar bisa move on dari proyek kebanggaannya, Kereta Cepat Jakarta–Bandung alias Whoosh. Baru-baru ini, pernyataannya soal "subsidi investasi sosial" bikin publik kembali heboh. Bukannya menjawab soal dugaan markup dan efisiensi proyek, Jokowi malah sibuk bicara tentang kemacetan. Arah pembicaraannya? Hmm, beberapa pihak menilai seolah berusaha menggiring simpati agar pemerintah Prabowo ikut "menyelamatkan” proyek tersebut.
Jejak Panjang Proyek Whoosh dan Beban yang Belum Selesai
Proyek Whoosh sempat jadi simbol kemajuan di era Jokowi. Digadang-gadang sebagai bukti lompatan teknologi dan transportasi modern. Tapi di balik kebanggaan itu, publik mulai menyoroti masalah efisiensi dan pembengkakan biaya.
Padahal sejak awal, proyek ini bukanlah subsidi sosial murni, melainkan kerja sama investasi yang seharusnya dikelola dengan prinsip bisnis. Tapi nyatanya, laporan soal dugaan markup dan transparansi keuangan justru makin kabur. Banyak yang khawatir, beban finansialnya pada akhirnya akan dilempar ke APBN, alias uang rakyat lagi yang harus nutupin.
Pernyataan Jokowi dan Upaya Menggeser Narasi
Pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu dianggap seperti strategi halus untuk mengubah arah perdebatan publik. Ia menekankan bahwa proyek Whoosh perlu disubsidi karena merupakan “investasi sosial”. Kedengarannya mulia, tapi justru di sinilah letak masalahnya.
“Siaga 98 menilai pernyataan Joko Widodo yang menyebut proyek Whoosh sebagai transportasi publik yang perlu disubsidi dengan alasan merupakan investasi sosial, merupakan upaya menggiring opini agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melakukan intervensi terhadap kerugian yang kini dialami proyek tersebut," kata Hasanuddin kepada RMOL (02/11/2025).
Komentar Hasanuddin ini langsung menohok. Ia menyebut bahwa pernyataan Jokowi secara tak langsung ingin menempatkan proyek Whoosh sebagai tanggung jawab sosial negara, padahal publik tahu sejak awal proyek ini didesain sebagai investasi bisnis, bukan proyek amal. Kritik itu masuk akal, karena kalau setiap proyek yang gagal disebut "investasi sosial", maka hampir semua kesalahan bisa dilapisi dengan istilah muluk.
Prabowo dan Dilema Pemerintah Baru
Kini bola panas ada di tangan Prabowo. Apakah pemerintahan barunya akan menanggung beban proyek lama? Menkeu Purbaya dengan tegas menolak agar utang Whoosh dimasukkan ke APBN. Sikap ini dinilai sebagai langkah tepat, karena kalau tidak hati-hati, pemerintah bisa terjebak dalam romantisme proyek masa lalu yang belum tentu efisien.
Di sisi lain, Jokowi tampak ingin memastikan proyek ini tetap hidup, mungkin agar tidak dicatat sebagai “warisan gagal”. Tapi publik menilai, jika benar-benar ada niat baik, maka yang diperlukan bukan lagi opini tentang subsidi, melainkan transparansi soal berapa besar kerugian dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Saat Jokowi Sulit Move On dari Kursi Kekuasaan
Lucunya, meski sudah purna tugas, Jokowi masih sering muncul dalam diskursus kebijakan strategis nasional. Seolah belum rela melepaskan kendali, terutama pada proyek-proyek besar yang dibangunnya sendiri. Bukannya menikmati masa pensiun dengan tenang, malah terlihat masih ingin mengarahkan narasi politik dan ekonomi negara.
Publik pun mulai bertanya-tanya, kenapa sih masih harus ikut campur? Bukankah yang ideal adalah memberi ruang bagi pemerintahan baru untuk menentukan sikap tanpa tekanan opini dari masa lalu? Sikap “sulit move on” seperti ini justru bisa menimbulkan kesan bahwa ada hal yang ingin diselamatkan.
Akuntabilitas Publik vs Pembenaran Politik
Akhirnya, yang paling penting diingat: proyek besar seperti Whoosh bukan cuma soal citra, tapi soal tanggung jawab keuangan negara. Kalau benar ada kerugian, seharusnya dijelaskan secara terbuka, bukan dibungkus dengan kata-kata “investasi sosial”. Karena di ujungnya, publik lah yang akan menanggung beban dari setiap keputusan yang tidak transparan.
Jadi, mungkin sudah waktunya para mantan pejabat berhenti mengatur arah kebijakan dari belakang layar. Kalau proyek itu memang bernilai sosial, biarkan publik yang menilai, bukan opini yang digiring untuk menutupi catatan merah masa lalu.
Referensi:
- rmol.id – 02/11/2025

0 Komentar