Penetapan delapan warga negara, termasuk Roy Suryo, sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada tahun 2024 terkait tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo telah memicu perdebatan hukum yang signifikan. Kasus ini menyoroti pertentangan antara perlindungan kebebasan berekspresi warga negara dan penerapan pasal pidana pencemaran nama baik oleh aparat penegak hukum.
Penetapan Tersangka dan Kontroversi Hukum
Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas dugaan penyebaran informasi palsu, pencemaran nama baik, dan manipulasi digital terhadap dokumen akademik presiden. Keputusan ini didasarkan pada penyelidikan yang merujuk pada Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menanggapi statusnya, Roy Suryo menyatakan bahwa tindakannya merupakan bagian dari pelaksanaan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dan melakukan penelitian terhadap dokumen kenegaraan. Menurutnya, hak untuk mengawasi pejabat publik dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945 dan tidak seharusnya dikriminalisasi. Sebaliknya, Ketua Umum relawan Jokowi Mania, Andi Azwan, mengapresiasi langkah kepolisian dan menganggapnya sebagai tindakan profesional untuk menanggapi informasi yang dinilai menyesatkan publik.
Benturan Hak Konstitusional dan Penegakan Hukum
Sebuah analisis hukum normatif menunjukkan bahwa penyelidikan publik terhadap dokumen kenegaraan merupakan pelaksanaan hak-hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28C, 28D, dan 28F UUD 1945. Pasal-pasal tersebut melindungi kebebasan berpikir, berpendapat, serta hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Menurut analisis tersebut, tindakan memidanakan warga yang menggunakan hak ini tanpa bukti niat jahat (mens rea) yang jelas berpotensi melanggar prinsip negara hukum.
Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam kasus ini dinilai cenderung bersifat reaktif dan tidak mempertimbangkan prinsip proporsionalitas. Upaya yang dilakukan para tersangka dipandang sebagai usaha akademik dan publik untuk menguji keabsahan dokumen negara, sehingga seharusnya masuk dalam kategori ekspresi yang dilindungi (protected expression) oleh konstitusi.
Perspektif Hukum Internasional dan Peran Kepolisian
Selain dilindungi konstitusi nasional, kebebasan berekspresi juga dijamin oleh hukum internasional melalui Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia. Prinsip dalam kovenan tersebut mensyaratkan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi harus proporsional dengan tujuan yang sah. Dalam kasus ini, pembatasan yang dilakukan dianggap tidak memenuhi syarat proporsionalitas.
Secara kelembagaan, Polri memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum secara profesional dan transparan sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2002. Fungsi utamanya adalah memelihara ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dengan demikian, Polri diharapkan bertindak sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga, bukan sebaliknya.
Rekomendasi Reformasi Sistem Hukum
Untuk mengatasi persoalan ini, supremasi konstitusi harus ditegakkan dalam setiap proses penegakan hukum. Diusulkan adanya reinterpretasi terhadap pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE agar tidak digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi. Sebagai alternatif, pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, direkomendasikan untuk diterapkan dalam kasus-kasus terkait ekspresi publik.
Lebih lanjut, disarankan adanya reformasi struktural, seperti pembentukan Unit Perlindungan Konstitusional (Constitutional Safeguard Unit) di bawah Kompolnas atau lembaga relevan lainnya. Penguatan mekanisme pengawasan publik melalui Kompolnas dan Ombudsman juga dinilai penting untuk memastikan prosedur penyidikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara.
Referensi:
Sumber artikel ini ditulis dari www.gelora.co (12/11/2025), berdasarkan analisis hukum oleh Dr. Surya Wiranto, SH MH.
0 Komentar