Jatah Preman Rp7 Miliar Digunakan Gubernur Riau Buat Pelesiran ke Luar Negeri


Kekuasaan di tangan yang salah, tak ubahnya senjata preman pasar. Ia digunakan bukan untuk melayani, melainkan untuk menodong dan memeras. Inilah potret buram yang terpampang dari Provinsi Riau, di mana sang Gubernur, Abdul Wahid, diduga mengubah singgasana jabatannya menjadi pos komando pemalakan sistematis.

Dana yang seharusnya mengalir menjadi aspal dan jembatan bagi rakyat, dibelokkan paksa menjadi pundi-pundi pribadi untuk membiayai gaya hidup mewah, termasuk pelesiran ke Inggris.

Ini bukan sekadar korupsi; ini adalah pembajakan mandat rakyat oleh seorang pemimpin yang bertindak layaknya kepala gangster.

Seperti yang diberitakan oleh rmol.id (05/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membongkar praktik lancung ini. Terungkap bahwa Abdul Wahid, bersama kroni-kroninya di Dinas PUPR, mengoperasikan mesin pemeras yang menargetkan para Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT). Dengan ancaman mutasi dan pencopotan jabatan, para pejabat eselon bawah dipaksa menyerahkan 'jatah preman' yang nilainya sungguh fantastis.


Aksi Pemerasan Berkedok Birokrasi

Di balik seragam dinas dan stempel resmi, sebuah skema kriminal berjalan dengan rapi dan terstruktur. Modusnya sederhana namun brutal: manfaatkan kenaikan anggaran infrastruktur sebagai ladang pemerasan. Anggaran untuk UPT Jalan dan Jembatan yang melonjak dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar dijadikan sapi perah. Awalnya, para Kepala UPT diminta menyetor 2,5%, namun sang 'bos besar' tak puas. Melalui representasinya, Kepala Dinas PUPR M. Arief Setiawan, tarif dinaikkan menjadi 5% atau setara Rp7 miliar.

Untuk menyamarkan transaksi haram ini, mereka menggunakan bahasa sandi. Angka Rp7 miliar itu disebut sebagai '7 batang'. Ancaman pemecatan menjadi cambuk yang memastikan tidak ada yang berani menolak.

Para Kepala UPT, yang terjepit antara integritas dan ancaman kehilangan mata pencaharian, akhirnya menyerah. Mereka dipaksa menjadi bagian dari sistem korup yang dirancang oleh atasan mereka sendiri, bahkan ada yang sampai rela berutang ke bank demi memenuhi setoran. Ini adalah cerminan betapa rusaknya sistem, di mana loyalitas diukur dengan besaran setoran, bukan kinerja pelayanan publik.


Gaya Hidup Mewah di Atas Penderitaan

Lalu, ke mana uang hasil perasan itu mengalir? Tentu bukan kembali ke kas negara atau program pro-rakyat. Uang haram senilai total Rp2,25 miliar yang diterima langsung oleh Gubernur Abdul Wahid, menurut KPK, digunakan untuk membiayai hasrat pelesiran ke luar negeri. Ditemukannya mata uang Poundsterling menjadi bukti konkret adanya rencana lawatan ke Inggris. Tak hanya itu, ada pula rencana perjalanan ke Brasil dan Malaysia yang sudah menanti.

Ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Di saat rakyat Riau mungkin masih berjuang dengan jalanan rusak dan infrastruktur yang tak memadai, pemimpin mereka justru menikmati kemewahan di London, yang dibiayai dari pemerasan terhadap bawahannya sendiri.

Setiap lembar Poundsterling yang ia belanjakan sejatinya berlumur keringat, ketakutan, dan mungkin air mata para aparatur sipil negara yang dipaksa tunduk pada sistem premanisme ini. Kemewahan sang gubernur dibangun di atas penderitaan dan pengkhianatan terhadap amanah publik.


Penyalahgunaan Wewenang oleh Preman Berdasi

Kasus Abdul Wahid adalah puncak gunung es dari budaya feodalisme dan premanisme yang mengakar dalam birokrasi kita. Istilah 'jatah preman' yang muncul dari internal dinas sendiri menunjukkan bahwa praktik ini sudah dianggap lumrah, sebuah realitas pahit yang harus diterima. Ini bukan lagi soal individu serakah, tetapi tentang sistem yang memungkinkan predator berkedok pejabat publik beroperasi dengan leluasa.

Ketika seorang gubernur bisa mengancam, memeras, dan menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi dengan begitu sistematis, maka yang terjadi adalah pembajakan institusi negara. Kepercayaan rakyat dilukai, pembangunan terhambat, dan aparatur yang jujur dipaksa memilih antara menjadi korban atau pelaku.

KPK memang telah meringkus para tersangka, namun pertanyaan besarnya adalah: berapa banyak lagi 'Abdul Wahid' lain di luar sana yang masih menjalankan 'kerajaan preman' mereka sendiri, menertawakan penderitaan rakyat dari jet pribadi dan kamar hotel mewah di luar negeri?

Referensi

  • KPK. (2025, November 5). Jatah Preman Gubernur Riau Abdul Wahid Dipakai Buat Pelesiran ke LN. rmol.id.

0 Komentar

Produk Sponsor