Ada yang menarik dari arah gerak politik para relawan Jokowi. Dulu mereka dikenal garang dengan bendera Pro Jokowi, sekarang tiba-tiba bilang kalau Projo bukan singkatan dari itu. Katanya sih, “Projo” diambil dari bahasa Sansekerta dan Jawa Kawi yang berarti negeri dan rakyat. Manis banget kedengarannya, tapi anehnya kenapa baru sekarang penjelasan itu diseriuskan?
Budie Arie Sebut Projo Bukan Pro Jokowi
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, akhirnya buka suara di Kongres ke-III Projo di Hotel Sahid, Jakarta. Dia menegaskan, nama Projo sama sekali gak ada hubungannya dengan Jokowi. “Projo itu artinya negeri dan rakyat,” ujarnya, seolah ingin menegaskan kalau organisasi ini lahir dari semangat kebangsaan, bukan kultus individu.
Padahal publik sudah lama tahu, Projo berdiri dan dikenal luas justru karena loyalitasnya pada sosok Jokowi. Tapi kini, narasi itu pelan-pelan mulai dilunakkan. Kesan “relawan Jokowi” mulai ditinggalkan, berganti jadi “komunitas cinta negeri.” Entah memang rebranding murni, atau memang sinyal arah angin kekuasaan yang berubah.
Siap Rebranding dengan Ganti Logo
Pernyataan paling mencolok muncul saat Budi Arie menyinggung soal logo. “Logo Projo akan kita ubah, supaya tidak terkesan kultus individu. Iya, kemungkinan (tidak wajah Jokowi lagi),” ungkapnya seperti yang ditulis oleh akurat.co (01/11/2025).
Lucunya, baru sekarang “terkesan kultus individu” jadi masalah. Padahal wajah Jokowi di logo itu udah bertahun-tahun jadi simbol kebanggaan. Tapi setelah kursi presiden bergeser, tiba-tiba wajah itu dirasa terlalu personal. Jadi, apakah ini bentuk kesadaran baru… atau sekadar pergantian topeng demi bertahan di lingkaran kekuasaan yang baru?
Publik bisa menilai sendiri. Di dunia politik, simbol itu penting. Dan mengganti wajah di logo bukan cuma soal desain, tapi juga soal pesan. Pesan bahwa Projo sedang mencari identitas baru yang lebih aman, lebih netral, dan tentunya lebih strategis.
Antara Loyalitas dan Survival Politik
Pasca ramai pemberitaan tentang kemungkinan Projo akan merapat ke Partai Gerindra, Budi Arie membuat pernyataan yang cukup “mengejutkan.” Ia menegaskan bahwa Projo bukan Pro Jokowi, dan organisasi ini siap bertransformasi. Tapi publik keburu bertanya, transformasi ini demi apa? Demi rakyat, atau demi tetap eksis di bawah payung kekuasaan yang kini dipegang partai lain?
Kalau dilihat dari waktu dan nada pernyataannya, perubahan arah ini terasa bukan sekadar spontan. Ada strategi adaptasi yang halus, semacam “politik selamat datang” untuk era baru. Dan di dunia politik, kemampuan beradaptasi seperti ini sering kali lebih penting daripada setia pada idealisme lama.
Cuci Citra atau Cuci Dosa?
Budi Arie mungkin ingin Projo terlihat segar, bersih, dan nasionalis. Tapi bagi sebagian orang, langkah ini justru terlihat seperti upaya cuci citra. Dulu bangga dengan wajah Jokowi di logo, sekarang mau dihapus karena dianggap terlalu personal. Ironis banget.
Perubahan ini menggambarkan satu hal: dalam politik, loyalitas bisa secepat itu berubah bentuk. Ketika “loyal” gak lagi menguntungkan, maka “netral” jadi pilihan baru yang lebih aman. Kalau dibilang bukan menjilat kekuasaan, ya semoga memang begitu. Tapi publik, seperti biasa, pasti bisa mencium aroma “penyesuaian” yang terlalu cepat ini.
Karena pada akhirnya, mengganti logo mungkin mudah. Tapi mengganti persepsi publik soal siapa sebenarnya Projo, itu cerita yang jauh lebih panjang.
Referensi:
- akurat.co – 01/11/2025

0 Komentar