Riak Polemik Ijazah Jokowi yang Tak Kunjung Reda
Hingga pertengahan Juni 2025, isu mengenai keaslian ijazah dan skripsi Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Padahal, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pihak Bareskrim Polri telah memberikan klarifikasi resmi untuk menepis keraguan publik.
Namun, respons masyarakat menunjukkan bahwa klarifikasi administratif saja tidak cukup untuk mengakhiri keraguan, terlebih di tengah iklim politik yang sarat ketidakpercayaan.
Berbagai kalangan masih mempertanyakan mengapa dokumen akademik yang seharusnya bersifat publik dan sederhana justru menjadi bahan polemik panjang. Fakta bahwa isu ini bertahan selama bertahun-tahun mengindikasikan adanya kegagalan dalam transparansi atau komunikasi politik yang kredibel kepada masyarakat luas.
Sikap Luhut, Meredam atau Menghindar?
Dalam sebuah acara konferensi infrastruktur di Jakarta, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, memberikan tanggapan keras atas isu tersebut. Seperti yang diberitakan oleh bentengsumbar.com (14/06/2025), Luhut menyebut bahwa polemik ini seharusnya tidak perlu diperpanjang, bahkan menyebut sebagian publik seperti “sakit jiwa” karena terus mengangkat isu ini.
Pernyataan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan lebih dalam. Apakah sikap keras ini menunjukkan keinginan untuk menenangkan suasana, atau justru mencerminkan kecenderungan untuk menghindari transparansi?
Ketika seorang pejabat tinggi negara lebih memilih untuk menutup perdebatan ketimbang mendorong keterbukaan informasi, maka ruang demokrasi bisa saja tereduksi secara perlahan.
Luhut Ajak Rakyat Fokus Hadapi Musuh dari Luar
Menariknya, Luhut juga membawa narasi yang sering muncul dalam konteks politik nasional, yakni soal “musuh dari luar negeri” yang disebut bisa memecah belah bangsa. Ia mengutip pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang mengingatkan tentang bahaya proxy asing di balik konflik internal.
Narasi seperti ini tampaknya selalu dimunculkan ketika muncul kritik yang menyasar tokoh utama kekuasaan. Hal ini bisa menjadi strategi untuk menggiring opini publik agar melihat perdebatan internal sebagai hasil provokasi eksternal.
Dalam kerangka itu, kritik terhadap ijazah Jokowi pun bisa dengan mudah direduksi sebagai bentuk penghasutan, bukan pencarian kebenaran.
Namun publik perlu jeli, karena generalisasi semacam itu berisiko menghapus ruang diskusi kritis dan mematikan fungsi kontrol sosial dari masyarakat terhadap kekuasaan yang demokratis.
Saat Kritik Justru Dianggap Ancaman
Pernyataan bahwa publik harus “kompak” dan tidak membuat berita provokatif bisa terdengar normatif, tetapi dalam konteks kekuasaan yang sudah lama bercokol, ungkapan seperti itu seringkali digunakan untuk membungkam kritik. Justru di sinilah pentingnya kewaspadaan terhadap kelicikan politik yang bisa tersamar dalam narasi-narasi kebangsaan.
Ketika tokoh-tokoh elite membungkus setiap kritik sebagai ancaman persatuan, maka rakyat perlu waspada bahwa mungkin ada hal penting yang ingin disembunyikan.
Pertanyaan seputar keaslian ijazah dan skripsi bukan sekadar soal dokumen, melainkan menyangkut integritas dan keterbukaan figur publik.
Maka, langkah Presiden Jokowi yang menyatakan kesiapannya menghadapi proses hukum bisa diapresiasi, namun transparansi dan kesediaan membuka akses informasi yang objektif jauh lebih menentukan dalam membangun kepercayaan publik secara menyeluruh.
Referensi:
- bentengsumbar.com – 14/06/2025
0 Komentar