Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil paksa Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, untuk menjadi saksi dalam sidang dugaan suap proyek jalan semakin menguat. Seperti yang diberitakan oleh www.gelora.co (08/11/2025), seorang pakar hukum pidana menilai langkah tersebut penting untuk mengungkap potensi kerugian negara dan menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
Dasar Hukum dan Perintah Hakim
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menyatakan bahwa KPK memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan pemanggilan paksa jika seorang saksi tidak kooperatif. Desakan ini diperkuat oleh fakta bahwa Majelis Hakim Tipikor di Pengadilan Negeri Medan, yang diketuai oleh Khamozaro Waruwu, telah mengeluarkan perintah kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada 24 September 2025 untuk menghadirkan Bobby Nasution dalam persidangan.
Menurut Abdul Ficar, kehadiran Gubernur Sumut tersebut krusial untuk mendalami dugaan kerugian negara yang timbul dari pergeseran anggaran APBD dalam proyek yang nilainya mencapai lebih dari Rp150 miliar. Ia menegaskan bahwa KPK wajib melaksanakan perintah hakim tersebut dan tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum, karena di mata hukum semua orang memiliki kedudukan yang sama, termasuk keluarga mantan presiden.
Keterkaitan Nama dalam Dua Perkara
Nama Bobby Nasution tidak hanya muncul dalam perkara dugaan korupsi proyek peningkatan jalan di Sumatera Utara, yang telah menyebabkan mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting, ditahan oleh KPK. Laporan www.gelora.co (08/11/2025) juga menyebutkan kemunculan nama Bobby dalam persidangan kasus suap yang melibatkan mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK).
Dalam sidang pada 31 Juli 2024, terungkap istilah “Blok Medan” yang disebut oleh Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suryanto Andili. Istilah tersebut merujuk pada dugaan keterlibatan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu dalam pembahasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel setelah sebuah pertemuan di Medan. Meskipun KPK saat itu menyatakan akan membuka penyidikan jika bukti mencukupi, kasus “Blok Medan” dilaporkan tidak mengalami perkembangan signifikan hingga AGK meninggal dunia.
Kepercayaan Publik dan Persepsi Independensi KPK
Lambatnya proses pemanggilan Bobby Nasution sebagai saksi menimbulkan pertanyaan di kalangan publik. Terdapat dua spekulasi utama: pertama, KPK sedang berhati-hati menyusun konstruksi hukum yang kuat, atau kedua, proses hukum terhambat oleh kepentingan struktural. Situasi ini terjadi di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK, terutama sejak Revisi UU KPK tahun 2019 yang menempatkan lembaga tersebut di bawah eksekutif.
Berbagai lembaga survei, seperti Indikator, LSI, dan Alvara periode 2021–2024, menunjukkan tren penurunan kepercayaan yang konsisten. Kegagalan menghadirkan saksi dari lingkaran elite dikhawatirkan dapat menormalisasi persepsi adanya pengecualian hukum bagi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Ujian Penegakan Hukum dan Preseden Masa Lalu
Kasus ini dinilai bukan sekadar perkara korupsi proyek daerah, melainkan menjadi ujian integritas dan keberanian bagi KPK. Hal ini dianggap ironis mengingat retorika anti-korupsi yang sering digaungkan oleh Presiden Prabowo. Sebagai perbandingan, pada tahun 2008, KPK pernah menetapkan Aulia Pohan, yang merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai tersangka tanpa adanya intervensi dari kepala negara.
Preseden tersebut menjadi tolok ukur bagi publik dalam menilai kinerja KPK saat ini. Oleh karena itu, kemampuan lembaga anti-rasuah tersebut untuk menghadirkan Bobby Nasution ke pengadilan dianggap sebagai pembuktian apakah KPK masih memiliki independensi dan ketegasan dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Referensi:
Sumber Fakta: Artikel ini merupakan hasil penulisan ulang yang netral dan objektif berdasarkan konten berita yang dirilis oleh Gelora News (www.gelora.co) pada tanggal 8 November 2025. Seluruh data dan pernyataan bersumber secara eksklusif dari artikel tersebut.
0 Komentar