
Ketika di banyak negara jabatan dianggap sebagai warisan turun-temurun atau prestasi absolut yang tak bisa digugat, di Jepang berbeda, seorang Wali Kota justru memilih turun dari kursinya gara-gara... ijazah.
Yep, cuma karena perkara "salah nyebut lulus," Maki Takubo, Wali Kota dari Prefektur Shizuoka, resmi mengundurkan diri. Sungguh contoh langka, apalagi jika dibandingkan dengan standar moral sebagian pejabat di negeri +62.
Mundur Karena Malu, Bukan Dipaksa Rakyat atau KPK
Takubo awalnya mengaku lulusan Universitas Toyo. Tapi setelah diselidiki, ternyata dirinya sudah di-drop out alias dikeluarkan dari kampus itu. Nahasnya, pengakuan "lulusan" itu sempat dimuat dalam majalah resmi kota, bikin makin ribet.
Alih-alih menyalahkan staf atau bilang "salah ketik," Takubo justru memilih jalur terhormat: minta maaf dan mundur. Coba bayangin kalau hal ini kejadian di tempat lain, pasti udah main playing victim dan nyalahin buzzer.
Permintaan maaf Takubo disampaikan langsung dalam rapat bersama para pejabat kota, dan disusul permintaan maaf resmi ke publik. Malam harinya, sekitar 100 staf balai kota dikumpulkan hanya untuk mendengarkan pengakuannya. Gengsi? Gak penting, yang penting harga diri dan akuntabilitas publik tetap dijaga.
Pariwisata Anjlok karena Skandal Ijazah Pemimpin
Buntut dari skandal ini nggak sekadar memukul citra pribadi Takubo. Industri pariwisata kota ikut ketiban getah. Beberapa agen wisata langsung batalkan tur ke kota resor yang terkenal dengan pemandian air panas itu.
Menurut tempo.co (11/07/2025), Kepala Departemen Perencanaan Kota, Tsuyoshi Chikamochi, menyebutkan bahwa masyarakat dan pemerintah kini harus berpacu memulihkan situasi dan kepercayaan publik.
Bayangin, satu pejabat tersandung kasus etika, turis langsung batal datang. Di tempat lain, udah korupsi, skandal, bahkan viral tiap minggu pun, tingkat kunjungan tetap stabil, karena... ya, masyarakat udah kebal mungkin?
Takubo Mengaku Ijazah Asli Tapi Lupa Dapat dari Mana
Dalam konferensi persnya, Takubo bersikeras bahwa ijazahnya asli. Tapi anehnya, dia sendiri nggak ingat gimana bisa dapet ijazah itu. Katanya sih yakin udah lulus sampai 28 Juni, tapi faktanya? Dikeluarin. Mirip sama cerita "saya yakin punya akta," tapi pas diminta, jawabannya malah filosofis dan muter-muter.
Karena makin membingungkan, dewan kota akhirnya minta ijazah itu untuk diserahkan ke Kejaksaan Distrik Shizuoka. Takubo pun bilang bakal kirim surat penjelasan resmi dalam dua minggu ke depan. Setelah itu, ia akan resmi lengser. Semuanya sesuai aturan. Transparan. Tidak ada drama sinetron politik atau karpet merah dari partai.
Belajar dari Apa yang Terjadi Jepang, Bercermin ke Indonesia
Kasus Takubo sebenarnya memberi cermin tajam buat publik global, termasuk Indonesia. Di Jepang, malu masih jadi mata uang moral. Sementara di tempat kita, dugaan ijazah palsu yang menyerempet orang penting justru seperti dibungkus selimut tebal, tak kasat mata, tapi jelas terasa kehangatannya. Dokumen aslinya gak pernah benar-benar ditunjukkan, hanya disebut "ada kok" sambil lempar senyum.
Dan yang menarik, meski banyak pihak udah bersuara, sampai sekarang pun belum ada langkah tegas dari aparat.
Ujungnya? Ya publik mulai terbiasa. Skandal diganti skandal, tapi posisi tetap aman. Mungkin karena standar etika di sini sudah dirombak jadi sekadar bahan kampanye dan bukan syarat kepemimpinan.
Jadi, apakah kita perlu menunggu ada Takubo versi lokal? Atau kita masih betah dengan dalih-dalih klasik seperti "ini hanya serangan politik"? Sementara itu, mari kita terus belajar dari negara tetangga, bukan dari teknologinya dulu, tapi dari rasa malunya.
Referensi:
- tempo.co – 11/07/2025
0 Komentar